Rabu, 30 November 2011

Sang Buku


Baru lepas dini hari semalam saya ingin menulis sesuatu di jejaring social saya dan terbentuklah:

Tidak semua orang bisa membaca sebuah buku tebal dan memahami isinya yang mungkin penuh keruwetan.

Banyak yang hanya membaca bagian akhir dan mengambil kesimpulan siapa yang jahat, tanpa mengetahui siapa sebenarnya tokoh protagonis atau antagonis sebenernya, tanpa peduli tokoh protagonis bisa menjadi antagonis dibagian akhir karena keadaan sebelumnya, atau antagonis seakan menjadi 'korban' dan terkesan sebaliknya dari sifat penokohan.

Bagi mereka, setidaknya, buku tersebut telah selesai dan tamat...

*sekali lagi, kebenaran ternyata relatif, tergantung dari mana kita memahami cerita buku kehidupan yang kita baca.


Tak lama, seorang sahabat menyapa saya lewat dunia maya dan mengatakan menyukai kata-kata ini. Saya hanya tersenyum dan kembali bertanya pada dia apakah kata-kata yang saya buat salah? Apakah saya hanya terlihat sedang curcol di media jejaring sosial? Dia menjawab bahwa maksud dari apa yang saya tulis sebenarnya hanyalah saya yang tahu, tetapi secara umum ini adalah sentilan bagi sifat manusia. Hahaha, saya tertawa naïf, tidak sejauh itu pemikiran saya.

Tak berselang lama juga seseorang yang lain memberikan komentar bahwa apapun isinya semua buku adalah ilmu. Ini membuat saya lebih tersenyum lagi karena seseorang yang lain melihat dari sisi yang berbeda, bahwa buku adalah buku, sebuah tumpukan kertas yang dijilid rapih berisi tulisan-tulisan tentang apa saja, dan semua itu pasti mengandung ilmu. Saya setuju dengan komentar ini, karena dengan buku (jika dibaca) maka ilmu kita akan bertambah, dan tidak ada batas usia untuk selalu menimba ilmu. Tidak ada orang yang semakin bodoh karena membaca buku, tidak ada orang yang semakin terpuruk otaknya karena menambah ilmunya.

Tapi sebenarnya yang ingin saya ungkapkan tak lebih dari sebuah omongan sahabat saya yang lain tentang buku kehidupan. Lembaran-lembaran hari yang telah kita lewati dan yang akan kita jalani menjadi sebuah buku sejarah pribadi kita masing-masing. Sahabat saya mengatakan, ketika seseorang sudah tutup usia maka bukunya pun telah tamat. Semua lembaran kehidupannya telah dia tulis dengan caranya sendiri, dengan pilihannya sendiri, dan dengan resikonya sendiri.

Dengan cara dan pilihan yang telah dia pilih maka orang tersebut bisa menempatkan diri sebagai tokoh utama atau sekedar pemeran pengganti saja, sebagai tokoh protagonis atau antagonis dalam menceritakan buku tentang hidupnya. Bagaimana dia mengatur segala alur kehidupannya yang bisa dibuat rumit atau sangat sederhana sekali. Pola pikir dan obsesi menentukan isi buku jalan hidupnya, menentukan bagaimana dia dan pola pikirnya bisa menyelesaikan masalah-masalah di hadapannya dan dengan obsesinya dia membuat sebuah keputusan tentang tujuan hidupnya.

Banyak orang yang masih bingung dengan obsesi hidupnya, apa yang menjadi tujuan hidupnya, mau dibawa kemana selama ini; termasuk saya. Gambaran-gambaran target terkadang terlalu tinggi dicapai dan berakhir hanya sebagai harapan-harapan semu saja, sehingga tak jarang jalan yang ditempuh pun sebenarnya tidak pernah beranjak dari tempat dia berdiri sejak semula. Saya sendiri terkadang capek memikirkan tujuan hidup saya sebenarnya apa, akan selalu berbeda ketika melihat dari satu sisi dengan sisi yang lain, terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak pertanyaan diri yang harus dijawab, sehingga terkadang bagi saya sampai saat ini hanya ingin menjadi orang baik yang bisa membahagiakan keluarga dan orang sekitar saya saja.

Kembali kepada Sang Buku, milik kita akan selalu dibaca oleh orang sekitar, baik disadari ataupun tidak bagi mereka. Mereka akan memahami Sang Buku dengan cara mereka sendiri, dan diambil kesimpulannya pun dengan pemikiran mereka masing-masing. Beberapa diantara mereka tak mau ambil pusing, sekedar melirik kemudian meletakkan begitu saja tanpa ada niat sedikitpun untuk melihat isinya. Bagi pemilik Sang Buku yang mempunyai cover menarik, akan ada beberapa diantara mereka yang membaca sepenuh hati, menjadi paham benar dengan isi sang buku, maksud dan tujuan yang diceritakan di dalamnya dan mencapai sebuah kesimpulan yang sama persis seperti yang diceritakan di dalamnya, atau setidaknya mirip.

Tetapi, banyak juga di antara mereka yang hanya mengintip awal cerita, melompati beberapa halaman sang buku, kemudian membaca akhir cerita, dan mengambil kesimpulan sendiri. Mereka tak peduli bagaimana alur cerita tersebut dibuat, bagi mereka apa yang terjadi diakhir cerita adalah sebuah kesimpulan. Padahal tahukah mereka bahwa didalamnya ada hal-hal yang akan menentukan akhir cerita? Mereka pun tetap tidak peduli.

Ada intrik, konflik, rekayasa, kepentingan, cinta dan benci di dalamnya. Ada bahagia, sedih, marah, terharu dan geregetan dalam perasaan yang diciptakan oleh cerita sang buku. Semua membuat alur dalam cerita berkesinambungan yang naik turun tidak terputuskan, dan terkadang akan menciptakan suatu akhir yang bertolak belakang dengan awal mula cerita sang buku. Sang pahlawan bisa menjadi penjahat, atau sang penjahat berubah menjadi orang yang dikagumi karena kepahlawanannya.

Lalu mengapa kita harus membuat kesimpulan terhadap sang buku jika kita tidak membaca lengkap keseluruhannya? Bagaimana kita tahu jiwa-jiwa yang tercipta dalam karakternya menuju kemana jika kita hanya melompat-lompat halaman? Dan mengapa vonis salah seenaknya bisa dijatuhkan terhadap isi buku?

Jadi teringat sebuah page di jejaring social tentang bagaimana manusia memperlakukan sesama terkadang berlebihan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di situ disebutkan tentang seorang gadis berumur 17 tahun yang dipandang sinis karena telah menggendong anaknya sendiri yang sudah berumur 3 tahun tanpa mereka tahu bahwa si gadis adalah korban pemerkosaan di usia 14 tahun. Atau tentang seorang cacat tubuh terbakar yang dihindari oleh orang-orang tanpa mereka menyadari bahwa orang tersebut adalah seorang anggota pemadam kebakaran yang menjadi korban lalapan api saat menyelamatkan seorang bayi. Atau makian terhadap seorang pembantu rumah tangga yang telah membunuh majikannya tanpa mereka merasakan kehidupan sang pembantu yang telah diperkosa, diinjak, dihina dan disiksa oleh majikannya sehingga akhirnya dia tidak tahan lagi. Dan beberapa cerita lainnya yang sejenis.

Dan akhirnya, mengapa kita harus memvonis seseorang tanpa mengetahui jalan hidupnya secara keseluruhan? Sebaik-baiknya adalah kita tidak pernah lagi membuat kesimpulan buruk terhadap orang lain, selalu berprasangka baik membuka lembaran hidup kita sendiri, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna dan membuat sebuah cerita kehidupan yang baik tentang kita sendiri dan orang-orang tercinta di sekitar kita. Nantinya jilidan buku kita akan ditumpuk dengan buku-buku kehidupan orang lain yang beragam dan terseleksi secara alam atas kualitasnya. Tak perlu kita membuat kesimpulan dan vonis atas buku orang lain tanpa kita mengetahui isinya, karena kebenaran itu relative tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Semoga kita bisa selalu bisa memperbaiki jalan hidup kita lebih baik dari sebelumnya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar