Senin, 05 Desember 2011

terbanglah...

ibaratkan saja dahulu
engkau menemukan seekor burung kecil rapuh tak berdaya
tergeletak merintih dan menangis karena sayapnya yang patah

lalu engkau erat mendekapnya
memeluknya agar sakitnya berpindah padamu
mengalihkan perhatian dari sakitnya
mengumbar untuknya semua kasih sayangmu
 
dan kamu pun mengobatinya sampai sembuh
merawatnya dengan sepenuh hati dan jiwamu
mendandaninya menjadi layaknya burung sorga
mengajarkannya bagaimana bisa terbang tinggi
menumbuhkan kepercayaan dirinya 
bahwa dia adalah istimewa
burung tercantik di antara burung-burung lain...

dan ketika saatnya tiba baginya 
dia akan terbang tinggi kembali
bahkan mungkin jauh lebih tinggi
dibandingkan sebelum pertemuanmu

 
maka relakanlah sepenuh hati...
dia pergi bukan untuk menjauh,
 
percayalah,
karena baginya cukup cintamu telah merubah hidupnya.

Jumat, 02 Desember 2011

The Roses (Chapter 1)

The Red Rose is ...


Panggil saja namanya Nona, tidak begitu tinggi, chubby, berkulit putih halus dengan sedikit rambut-rambut halus diantara hidung dan mulutnya serta di belakang pipinya. Cantik.

Sikapnya yang anggun, sopan, dan bisa menghargai orang lain, apalagi bila berbicara dengan orang tua atau orang yang lebih tua darinya, sangat menyenangkan. Itu karena didikan orang tuanya yang begitu keras, tidak mau berkompromi, dan sangat mematuhi adat-adat asalnya. Karena dia adalah keturunan ningrat, darah biru salah satu daerah yang kental dengan adatnya di Jawa Timur.

Sampai saat ini aku mengenalnya melebihi dari separuh umurku. Begitu mencintainya sampai dengan apapun aku rela untuk dia. Perjalananku dengan dia sangatlah panjang, sampai terkadang aku dan dia lelah dengan semua ini.

“Kita bagaikan cermin satu sama lain,” ujar dia suatu ketika. “Kita akan sama-sama sakit jika salah satu dari kita merasa sakit. Maka begitupun perasaan cinta kita, kamu tidak akan bisa membohongiku dengan mengatakan sudah tidak mencintaiku lagi ketika aku masih mencintaimu, begitupun sebaliknya. ”

Aku hanya memeluknya dari belakang saat itu, mencium tengkuknya sambil menikmati malam yang indah di pinggir pantai Parangtritis, menikmati debur indah ombak lautan yang berkejaran memantulkan bulan purnama kala itu. Tak ada komentar yang keluar dari mulut ini karena apa yang dia katakan adalah benar.

Aku dan dia begitu sama. Aku dan dia sama-sama bisa menikmati indahnya malam, mencintai laut tapi juga takut untuk mendekatinya, menatap keindahan bulan merah jambu di semburat tenggelamnya matahari, meresapi puisi-puisi romantis Khalil Gibran yang indah sepanjang masa, merenungi hidup kami yang tak pernah bisa lepas.

Bagaimana para roman menyebutnya ya, soulmate?



Aku ingat obsesinya untuk berciuman di bawah derai hujan, yang akhirnya terkabul saat aku dan dia kehujanan di Surabaya mengejar bis antar kota yang menuju kota kelahiranku dan dia. Waktu itu aku menariknya untuk berteduh dipinggiran pertokoan ketika dia justru menarikku ke tengah hujan yang deras, berlari menuju jembatan penyebrangan di seberang stasiun Wonokromo. Aku tak mengerti maksudnya berlari dibawah hujan, menaiki tangga penyebrangan, sampai di atas dia berbalik memelukku dan menciumku, tak peduli pada orang-orang yang mendengus heran di bawah payung mereka. Aku tertegun lalu mengacak-acak rambut basahnya saat dia tersenyum nakal. Menggemaskan.

Mengacak-acak rambutnya adalah hal yang paling dia suka bila aku melakukannya. Wajahnya bisa berubah manja dan menikmati acakan tanganku, walaupun kadang cubitan panasnya mendarat di lenganku karena kesebalannya harus merapikan rambut lagi. Aku senang melihat rambutnya, tebal dan ikal sebahu, sehingga sering membuatku gemas untuk memainkannya di antara jari-jariku.

Persamaanku dan dia yang paling cocok adalah sama-sama ‘gila’. Gila pada hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan orang lain atau gila pada menciptakan momentum-momentum yang akan selalu aku ingat. Seperti kegilaanku dan dia saat suatu sore berangkat ke Malioboro dari tempat tinggalnya, mengelilingi kaki lima dan semua mall yang ada disana, kemudian sepakat untuk menginap di Stasiun Tugu. Padahal aku tahu dia sudah capek sekali. Lalu sekitar jam 10 malam aku ajak dia untuk pulang walapun dia masih sok kuat, padahal posisinya sudah tiduran di bangku ruang tunggu dengan kepalanya di atas pangkuanku, dengan mata yang sudah merah. Walaupun akhirnya dia menyerah saat tengah malam kami kedinginan di tengah deru kereta api yang tak pernah berhenti lewat di relnya, kami pun pulang memakai taxi setelah aku berhasil mendebatnya untuk jalan kaki sejauh 10 km.

Jalan kaki? Banyak waktu-waktu ku bersamanya berjalan kaki mencari momentum. Mengelilingi Jl. Gejayan melewati kampus IKIP sampai UGM setelah kami makan sate kambing, atau berjalan-jalan lapangan timur UGM sambil mengendap-endap menghitung mahasiswa dan mahasiswi yang berpacaran di tempat-tempat gelap tanpa bersuara.

Momentum-momentum romantis yang tak pernah kualami sebelumnya tercipta bersamanya. Seperti ketika dia mendefinisikan lagu Bed Of Roses-nya Bon Jovi saat aku mendatanginya di Yogyakarta. Saat itu aku di ajak ke dalam kamarnya yang hanya di terangi puluhan cahaya lilin berwarna ungu dengan harum semerbak bunga mawar yang tercium dari taburan bunga mawar di seluruh penjuru kamarnya, terutama di atas tempat tidurnya yang penuh dengan bunga mawar. Padahal aku datang hanya untuk mengajaknya makan, tapi dia telah menyiapkan makan malam kami di disitu, di tengah-tengah cahaya lilin dengan makanan kesukaanku yang dimasaknya sendiri dengan susah payah karena dia belum pernah memasaknya.

Atau ketika disaat aku dan dia bertengkar hebat sampai dia memutuskan hubungan dan aku kembali ke kotaku dengan keadaan marah. Beberapa hari setelah itu kembali aku tertegun saat bangun pagi aku lihat dia di depan pintu kamar kosku, berlutut sambil membawa setangkai mawar merah hati memohon untuk kembali. Bagaimana aku bisa menolaknya setelah dia menempuh perjalanan bus antar kota selama 12 jam hanya untuk kembali padaku di sela kesibukan kuliahnya? Aku pun hanya mengangkat tubuhnya dan merengkuhnya dengan haru, memapahnya ke dalam kamar kosku karena kram kakinya setelah berlutut 2 jam menungguku bangun. Segera kuambilkan dia minum dan menyuruhnya istirahat dulu, terlelap di bawah belaian tanganku di atas rambutnya.

Piuhhh, kenangan seperti itu bagaimana bisa aku lupakan?

Kini aku hanya bisa memendamnya dalam hati, jauh di lubuk hati mencoba melupakannya, melupakan mawar merahku yang tak lagi ada disampingku, yang tak lagi mencerminkan diriku, yang tak lagi ada untuk kucium harumnya…


-----

Aku mengenalnya ketika pertama kali aku menginjak salah satu kota di kabupaten yang terpencil di Jawa Timur untuk melanjutkan sekolah di lanjutan pertama, saat orang tuaku memutuskan pindah dari pedesaan demi pendidikan anak-anaknya agar lebih terjamin. Pertama aku melihatnya menjadi teman sekelasku dengan balutan baju seragam putih biru di tubuh mungilnya, tetapi tidak ada yang spesial.

Walaupun aku dan Nona satu kelas, tidak banyak percakapan diantara kami sampai beberapa minggu sesudahnya. Aku duduk sebangku dengan anak baru dari Padang, Wawan. Badannya cukup besar untuk ukuran anak SMP, tapi kulitnya yg putih membedakan dia dengan penduduk asli sini yang rata-rata sawo matang. Wawan ternyata tertarik pada Nona. Aku tertawa geli mendengarnya, bayangkan saja umur baru 12 tahun, masih bercelana pendek, bahkan kakinya saja belum berbulu sempurna sudah berani menyatakan cinta. Aku ikuti aja maunya untuk jadi mak comblangnya dengan Nona, demi teman. Itulah saat-saat pertama aku dekat dengan nona, tapi tetap saja tidak ada yang special.

Ternyata Nona juga tertarik pada Wawan. Bagus deh, aku jadi tidak perlu bersusah payah mendekatkan mereka. Tapi dasar cinta monyet, untuk jalan bareng saja masih malu, apalagi untuk hang out. Yang mereka lakukan hanya sebatas obrolan di kelas. Situasi cinta monyet inilah yang membuatku semakin dekat dengan Nona, menjadi penghubungnya dengan Wawan.

Sampai suatu ketika Nona mengatakan padaku agar aku tak lagi berbicara dengannya karena Wawan cemburu, aku hanya menjawab terserah dan mengikuti maunya. Kemudian aku pun pindah tempat duduk tak lagi sebangku dengan Wawan agar aku tak merusak hubungan persahabatan kami, persahabatanku dengan Wawan dan juga dengan Nona. Tapi ternyata beberapa bulan kemudian ku dengar mereka putus. Walaupun aku lihat mereka tersakiti dengan putusnya cinta monyet mereka yang mereka sebut First Love, dengan waktu tak lama juga aku mendengar masing-masing telah jadian dengan cinta monyet yang lain.

Namun aku tetap tidak perduli dengan urusan mereka, juga dengan Nona yang masih saja tak mau bicara denganku. Sampai kenaikan kelas, di awal pelajaran baru wali kelasku ingin membuat suasana kelas lebih segar dengan memposisikan muridnya duduk sebangku berpasang-pasangan. Entah di sengaja atau tidak, aku dipilih untuk duduk sebangku bersama Nona. Walaupun merasa canggung pada awalnya karena sampai satu hari sebelum itu dia belum bicara denganku, akhirnya hari itu bisa aku lewatkan dengan baik bersamanya. Kami kembali bersenda gurau, menemukan kecocokan kembali seperti jauh sebelumnya.

Dia sering meledekku dengan kelakuanku yang selalu kabur kalau melihat cinta monyetku, maksudku pacar monyetku, eh pacarku waktu itu. Ternyata akupun tak jauh berbeda dengan mereka, entah kenapa walaupun aku mengikuti trend cinta monyet aku tak pernah berani bertemu langsung dengan pacar-pacarku di sekolah. Tapi tak jarang sebaliknya aku berhasil meledeknya tantang pacar-pacar barunya yang selalu berganti, sampai mukanya bersemu merah. Menggodanya sampai dia membelalakkan matanya yang bulat indah.

Herannya pacar-pacarnya dia tak pernah cocok denganku, juga sebaliknya pacar-pacarku tak pernah bisa berkompromi dengannya. Beberapa pacarnya lagi-lagi cemburu padaku, tapi kali ini Nona tak mau lagi untuk menjauhiku seperti keetika dia menuruti permintaan Wawan. Sedangkan pacar-pacarku malah ada yang sampai benci banget sama dia dan akhirnya memutuskanku hanya karena kedekatanku dengan Nona.

Banyak yang mempertanyakan hubungan kami sebenarnya, tapi bagiku Nona hanya adik kecilku, adik terbungsu yang harus aku lindungi, yang selalu bisa bermanja padaku. Sedangkan bagi Nona aku pun tak jauh beda, hanya kakak baginya. Persahabatanku dan dia sudah menjadi persaudaraan, tak ada yang kami sembunyikan satu sama lain Kami pun sepakat untuk berkomitmen: No Love, No Lover, and Never Be a Lover antara kami.

Persahabatan ini di tambah dengan 2 orang lainnya yaitu Yosh dan Dina. Yosh adalah sahabatku setelah aku jauh dari Wawan, padahal dia adalah orang yang kukenal pertama kali saat aku menginjak sekolah ini, sedangkan Dina adalah sahabatnya Nona yang baik banget, pendiam, pengertian, dan selalu siap untuk kami bertiga. Berempat kami menyebut diri kami DYAN, menggelikan sekali.

Di luar sekolah terkadang kami jalan-jalan bersepeda berempat memutari kota, merampok rumah teman-teman kelas dan menyantroni teman-teman lainnya. Walaupun kemana-mana selalu berempat, tanpa disadari yang menjadi leader adalah aku dan Nona. Sebagian besar inisiatif dan ide adalah dari aku dan dia. Tanpa disadari justru aku dan Nona terlihat seperti pasangan sedangkan Yosh dan Dina pendamping, padahal tidak ada sedikitpun maksud untuk itu. Sempat aku mengajukan keberatan pada Nona untuk bertukar pasangan jika sedang berjalan berempat, tapi ujung-ujungnya tetap saja selalu begitu, sehingga akhirnya aku selalu berusaha menjadi netral.

Menjelang kelulusan SMP aku sempat berpamitan pada mereka untuk mencoba salah satu sekolah lanjutan atas khusus untuk pemerintahan. Tapi karena gagal untuk kualifikasinya aku kembali sekolah di salah satu sekolah favorit di kota kabupaten tempat kelahiranku. Sayangnya di antara kami berempat Yosh gagal memenuhi syarat masuk sekolah yang sama sehingga dia berbeda sekolah. Sedangkan aku, Nona, dan Dina memang satu sekolah tapi kami tak lagi satu kelas.

Perlahan, walaupun persahabatan kami masih ada, kami menemukan sahabat-sahabat yang lain, jarak pun mulai tercipta. Aku terlena dengan teman-temanku yang baru, Dina juga dengan sahabat-sahabatnya yang sama sekali tidak bisa aku masuki, dan Nona dengan teman-temannya yang... ah, inilah yang nantinya akan menyebabkan hubunganku dengan Nona menjadi renggang.

Waktu itu aku adalah orang yang idealis, yang semuanya harus sesuai dengan peraturan. Di kota kecil ini segala tingkah laku mendapat cap sesuai dengan yang di perbuatnya. Entah memang lingkungan disini yang masih kampungan atau aku yang masih hijau terlalu mempedulikan pendapat orang lain yang hanya melihat kuarnya saja. Demikian juga dengan teman-teman kelas Nona yang waktu itu pergaulannya tidak cocok bagiku. Padahal sebenarnya mereka baik-baik kok, bahkan kompak banget sehingga kadang bercandanya keterlaluan untuk ukuran anak SMA. Bercanda yang kadang kelewatan ini yang membuatku mengingatkan Nona untuk jaga diri, tapi dia salah tanggap dengan mengganggap aku iri pada teman-temannya. Untuk ke dua kalinya hubunganku dengan Nona menjauh.

Setelah kenaikan kelas aku sedih melihat dia semakin jauh. Tapi aku tak dapat berbuat banyak. Aku pun tenggelam pada beberapa ekstra kurikuler yang aku ikuti di sekolah. Dua diantaranya aku ikut hanya agar bisa dekat dengan Nona. Saat-saat ini aku mulai bertanya dalam hati apakah aku mempunya perasaan yang berlebihan pada dia. Tapi aku bersikukuh mengingatnya sebagai adik kecilku dan komitmen kami.

Tak disangka saat kelas akhir aku sekelas dengan Nona!

Antara senang dan tidak aku kembali sekelas dengan dia, apalagi sebagian dari teman-teman kelasku berasal dari kelasnya. Entah apa yang ada di otakku waktu itu aku iseng mengirim ke majalah sekolahku sebuah cerpen yang sebenarnya bukan tentang Nona tapi ada kata-kata yang aku buat untuk menyindirnya, yang aku buat satu tahun sebelumnya.

Aku ingat waktu itu dia dengan muka merah dan mata berkaca-kaca memasuki kelas dan membanting sebuah majalah ke atas mejaku. Aku yang sedang bercanda dengan temanku terkejut dengan sikapnya dan terdiam sampai dia meninggalkan kelasku. Majalah yang dia lempar masih diatas mejaku. Aku membuka bagian yang dia kasi tanda, cerpenku. Sederet tulisan menggunakan tinta merah tertulis disitu.
 


“I know its me!!
You are talking about me with your wrong perseption!
Why you never ask me before?
Why you never try to talk with me about all of this?
I’m veri dissappointed of you.
I thought you know me, I thought you really understand me, but I’m wrong.
I hate you…”

Wew, aku terdiam membacanya. Apalagi tak lama kemudian beberapa teman lelaki yang berasal dari kelasnya dulu mendatangiku dengan muka masam dan merengkuh leher bajuku, mengecamku dan menanyaiku apa yang telah aku lakukan. Mungkin karena darah muda saja waktu itu aku melawan dengan emosi dengan menjawab bahwa itu bukan urusan temannya. Teman lelaki Nona menantangku sepulang sekolah, tapi hal ini terdengar teman-temanku dan saat pulang sekolah hampir saja terjadi tawuran antar kelas.


Tawuran ini kugagalkan dengan menantang teman lelaki Nona 1 lawan 1, dan tantanganku di terima. Waktu itu aku tidak mau berkelahi di seputar sekolah sehingga aku meminta tempat lain yang disepakati teman-teman. Langsung kupacu motorku menuju tempat yang telah disepakati, sebuah lapangan terbang yang terbengkalai. Namun di tengah perjalanan sesosok wanita dengan motor bebek mengejarku dan memaksaku untuk minggir. Dia Nona.

 
Sambil menangis menghampiriku yang berhenti tak jauh dari motornya, Nona meminta aku untuk tidak melanjutkan pertengkaran bersama temannya. Teman lelakinya yang baru menyusul terkejut ketika ada Nona dan dia terdiam saat Nona memintanya untuk menghentikan sikapnya yang membela Nona. Ketika aku dan teman lelakinya Nona mengiyakan permintaannya, tiba-tiba Nona melihatku dengan tatapan kecewa dan kembali menangis kemudian kembali memacu motornya.

 
“Kamu musti tanggung jawab telah membuatnya menangis!” ujar temen lelakinya tiba-tiba mengagetkan diamku.

 
Aku langsung loncat ke atas motorku dan mengejar Nona. Ternyata dia menuju rumah salah satu sahabatnya yang tak jauh dari tempat tadi kami berhenti. Dia langsung masuk menemui sahabatnya dan memeluknya sambil menangis. Aku yang sampai tak lama kemudian menyusulnya ke dalam rumah. Hal itu rupanya mengagetkan Nona, dia tak menyangka aku akan mengejarnya. Nona melepas pelukannya pada sahabatnya dan memandangku kemudian berlari memelukku.

 
“I miss my big Brother…”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

To Be Continued

Rabu, 30 November 2011

Sang Buku


Baru lepas dini hari semalam saya ingin menulis sesuatu di jejaring social saya dan terbentuklah:

Tidak semua orang bisa membaca sebuah buku tebal dan memahami isinya yang mungkin penuh keruwetan.

Banyak yang hanya membaca bagian akhir dan mengambil kesimpulan siapa yang jahat, tanpa mengetahui siapa sebenarnya tokoh protagonis atau antagonis sebenernya, tanpa peduli tokoh protagonis bisa menjadi antagonis dibagian akhir karena keadaan sebelumnya, atau antagonis seakan menjadi 'korban' dan terkesan sebaliknya dari sifat penokohan.

Bagi mereka, setidaknya, buku tersebut telah selesai dan tamat...

*sekali lagi, kebenaran ternyata relatif, tergantung dari mana kita memahami cerita buku kehidupan yang kita baca.


Tak lama, seorang sahabat menyapa saya lewat dunia maya dan mengatakan menyukai kata-kata ini. Saya hanya tersenyum dan kembali bertanya pada dia apakah kata-kata yang saya buat salah? Apakah saya hanya terlihat sedang curcol di media jejaring sosial? Dia menjawab bahwa maksud dari apa yang saya tulis sebenarnya hanyalah saya yang tahu, tetapi secara umum ini adalah sentilan bagi sifat manusia. Hahaha, saya tertawa naïf, tidak sejauh itu pemikiran saya.

Tak berselang lama juga seseorang yang lain memberikan komentar bahwa apapun isinya semua buku adalah ilmu. Ini membuat saya lebih tersenyum lagi karena seseorang yang lain melihat dari sisi yang berbeda, bahwa buku adalah buku, sebuah tumpukan kertas yang dijilid rapih berisi tulisan-tulisan tentang apa saja, dan semua itu pasti mengandung ilmu. Saya setuju dengan komentar ini, karena dengan buku (jika dibaca) maka ilmu kita akan bertambah, dan tidak ada batas usia untuk selalu menimba ilmu. Tidak ada orang yang semakin bodoh karena membaca buku, tidak ada orang yang semakin terpuruk otaknya karena menambah ilmunya.

Tapi sebenarnya yang ingin saya ungkapkan tak lebih dari sebuah omongan sahabat saya yang lain tentang buku kehidupan. Lembaran-lembaran hari yang telah kita lewati dan yang akan kita jalani menjadi sebuah buku sejarah pribadi kita masing-masing. Sahabat saya mengatakan, ketika seseorang sudah tutup usia maka bukunya pun telah tamat. Semua lembaran kehidupannya telah dia tulis dengan caranya sendiri, dengan pilihannya sendiri, dan dengan resikonya sendiri.

Dengan cara dan pilihan yang telah dia pilih maka orang tersebut bisa menempatkan diri sebagai tokoh utama atau sekedar pemeran pengganti saja, sebagai tokoh protagonis atau antagonis dalam menceritakan buku tentang hidupnya. Bagaimana dia mengatur segala alur kehidupannya yang bisa dibuat rumit atau sangat sederhana sekali. Pola pikir dan obsesi menentukan isi buku jalan hidupnya, menentukan bagaimana dia dan pola pikirnya bisa menyelesaikan masalah-masalah di hadapannya dan dengan obsesinya dia membuat sebuah keputusan tentang tujuan hidupnya.

Banyak orang yang masih bingung dengan obsesi hidupnya, apa yang menjadi tujuan hidupnya, mau dibawa kemana selama ini; termasuk saya. Gambaran-gambaran target terkadang terlalu tinggi dicapai dan berakhir hanya sebagai harapan-harapan semu saja, sehingga tak jarang jalan yang ditempuh pun sebenarnya tidak pernah beranjak dari tempat dia berdiri sejak semula. Saya sendiri terkadang capek memikirkan tujuan hidup saya sebenarnya apa, akan selalu berbeda ketika melihat dari satu sisi dengan sisi yang lain, terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak pertanyaan diri yang harus dijawab, sehingga terkadang bagi saya sampai saat ini hanya ingin menjadi orang baik yang bisa membahagiakan keluarga dan orang sekitar saya saja.

Kembali kepada Sang Buku, milik kita akan selalu dibaca oleh orang sekitar, baik disadari ataupun tidak bagi mereka. Mereka akan memahami Sang Buku dengan cara mereka sendiri, dan diambil kesimpulannya pun dengan pemikiran mereka masing-masing. Beberapa diantara mereka tak mau ambil pusing, sekedar melirik kemudian meletakkan begitu saja tanpa ada niat sedikitpun untuk melihat isinya. Bagi pemilik Sang Buku yang mempunyai cover menarik, akan ada beberapa diantara mereka yang membaca sepenuh hati, menjadi paham benar dengan isi sang buku, maksud dan tujuan yang diceritakan di dalamnya dan mencapai sebuah kesimpulan yang sama persis seperti yang diceritakan di dalamnya, atau setidaknya mirip.

Tetapi, banyak juga di antara mereka yang hanya mengintip awal cerita, melompati beberapa halaman sang buku, kemudian membaca akhir cerita, dan mengambil kesimpulan sendiri. Mereka tak peduli bagaimana alur cerita tersebut dibuat, bagi mereka apa yang terjadi diakhir cerita adalah sebuah kesimpulan. Padahal tahukah mereka bahwa didalamnya ada hal-hal yang akan menentukan akhir cerita? Mereka pun tetap tidak peduli.

Ada intrik, konflik, rekayasa, kepentingan, cinta dan benci di dalamnya. Ada bahagia, sedih, marah, terharu dan geregetan dalam perasaan yang diciptakan oleh cerita sang buku. Semua membuat alur dalam cerita berkesinambungan yang naik turun tidak terputuskan, dan terkadang akan menciptakan suatu akhir yang bertolak belakang dengan awal mula cerita sang buku. Sang pahlawan bisa menjadi penjahat, atau sang penjahat berubah menjadi orang yang dikagumi karena kepahlawanannya.

Lalu mengapa kita harus membuat kesimpulan terhadap sang buku jika kita tidak membaca lengkap keseluruhannya? Bagaimana kita tahu jiwa-jiwa yang tercipta dalam karakternya menuju kemana jika kita hanya melompat-lompat halaman? Dan mengapa vonis salah seenaknya bisa dijatuhkan terhadap isi buku?

Jadi teringat sebuah page di jejaring social tentang bagaimana manusia memperlakukan sesama terkadang berlebihan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di situ disebutkan tentang seorang gadis berumur 17 tahun yang dipandang sinis karena telah menggendong anaknya sendiri yang sudah berumur 3 tahun tanpa mereka tahu bahwa si gadis adalah korban pemerkosaan di usia 14 tahun. Atau tentang seorang cacat tubuh terbakar yang dihindari oleh orang-orang tanpa mereka menyadari bahwa orang tersebut adalah seorang anggota pemadam kebakaran yang menjadi korban lalapan api saat menyelamatkan seorang bayi. Atau makian terhadap seorang pembantu rumah tangga yang telah membunuh majikannya tanpa mereka merasakan kehidupan sang pembantu yang telah diperkosa, diinjak, dihina dan disiksa oleh majikannya sehingga akhirnya dia tidak tahan lagi. Dan beberapa cerita lainnya yang sejenis.

Dan akhirnya, mengapa kita harus memvonis seseorang tanpa mengetahui jalan hidupnya secara keseluruhan? Sebaik-baiknya adalah kita tidak pernah lagi membuat kesimpulan buruk terhadap orang lain, selalu berprasangka baik membuka lembaran hidup kita sendiri, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna dan membuat sebuah cerita kehidupan yang baik tentang kita sendiri dan orang-orang tercinta di sekitar kita. Nantinya jilidan buku kita akan ditumpuk dengan buku-buku kehidupan orang lain yang beragam dan terseleksi secara alam atas kualitasnya. Tak perlu kita membuat kesimpulan dan vonis atas buku orang lain tanpa kita mengetahui isinya, karena kebenaran itu relative tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Semoga kita bisa selalu bisa memperbaiki jalan hidup kita lebih baik dari sebelumnya. Amin.

Just Intermezzo



Sebenarnya saya pernah mengenal blog beberapa tahun yang lalu saat masih jamannya Friendster, ya hampir 8 tahun lalu lah, tetapi kemudian jiwa menulis saya mati. Entah, apakah ini bisa dibilang mati karena saya sudah tidak bisa menulis lagi karena hidup yang terlalu sibuk, atau memang jiwa ‘pengen nulis’ saya sudah tidak ada lagi. Padahal sebelumnya saya cukup aktif menulis, sejak jaman masih sekolah menengah saya senang mengungkapkan kata-kata lewat huruf-huruf , walaupun saya tidak pernah sampai pada taraf professional.

Tapi memang saya tidak peduli, maaf bagi para penulis professional atau yang telah menjalani hidupnya untuk menulis, karena bagi saya ini hanya pengungkapan rasa dari apa yang ada di benak saya karena melihat keadaan sekitar atau setelah mengalami suatu kejadian. Sesuatu yang kadang mengusik benak saya dan tidak bisa saya ungkapkan lewat cerita-cerita dari mulut ke mulut.

Saya menulis karena saya ingin menulis, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada standarisasi bahwa tulisan seseorang bisa lebih bagus dari saya atau sebaliknya, tulisan saya yang lebih bagus dari mereka. Setiap penulis mempunyai jiwa masing-masing, karakter masing-masing yang mungkin cukup unik sehingga membuat kesan tersendiri. Sastra, prosa, puisi, apapun bentuknya (dan saya tidak begitu mengerti istilah-istilah penulisan lain), adalah cerminan diri dari penulisnya. Pengungkapan hati atau hanya sekedar pembohongan diri dari angan-angan dan cita-cita yang terpendam dan tak pernah tercapai. Apapun bentuknya, saya menulis karena ingin menulis dan selalu menghargai karya tulisan siapapun.

Mungkin dari inilah tulisan-tulisan saya terkadang hanya berakhir di tumpukan kertas lusuh yang akhirnya lapuk atau dimakan rayap. Beberapa diantara mereka memang pernah dipublikasikan tapi hanya sebatas majalah-majalah sekolah menegah dahulu, atau majalah-majalah lokal, yang bahkan pembacanya pun tak pernah mengenal saya, dan saya tidak peduli.

Demikian juga blog ini nantinya, saya tidak ingin ada yang memperkenalkan diri saya secara pribadi disini. Jangan anggap tulisan-tulisan yang mungkin terungkap di sini adalah jati diri saya, atau pengalaman-pengalaman pribadi saya. Ini hanyalah tulisan, cerminan kepribadian penulis tapi belum tentu cerminan hidup sang penulis.

Kembali ke blog, saya terusik untuk membuat yang baru lagi setelah salah seorang sahabat terbaik saya mengajak saya bertemu beberapa temannya yang kebetulan berkunjung ke sini karena ada acara para blogger. Pembicaraan dan diskusi mereka mengusik jiwa, apa yang telah terkubur menggeliat dan ingin memberontak bangun, tapi saya tetap mencoba bertahan meyakinkan diri bahwa saya tidak butuh lagi pengungkapan lewat tulisan ini. Namun ternyata tangan dan otak saya gatal untuk mengetik di atas tombol-tombol keypad lappie ini, setelah menyadari bahwa saya telah melewati banyak hal dalam hidup ini tanpa mendokumentasikannya. Ya, dokumentasi dalam bentuk tulisan yang nantinya bisa membawa saya pada pemikiran-pemikiran dan jiwa-jiwa yang sedang saya alami saat menulis, dan kembali lagi saat saya membaca tulisan-tulisan saya sendiri. Membuat kita tertawa saat membaca walaupun kita sedang bersedih, ataupun membuat terharu saat kita bahagia, atau bahkan mengusik jiwa menjadi berkobar-kobar penuh emosi dalam kesendirian dan kesepian kita.

Apapun bentuknya: cerpen, cerbung, puisi, dokumentasi perjalanan, quote, humor, atau apapun, akan membentuk blog ini.

Maka inilah tempat saya menulis kembali saat ini…

Pemogan, 30 November, 01:55 WITA