Baru lepas
dini hari semalam saya ingin menulis sesuatu di jejaring social saya dan
terbentuklah:
Tidak semua orang bisa membaca
sebuah buku tebal dan memahami isinya yang mungkin penuh keruwetan.
Banyak yang hanya membaca bagian akhir dan mengambil kesimpulan siapa yang
jahat, tanpa mengetahui siapa sebenarnya tokoh protagonis atau antagonis
sebenernya, tanpa peduli tokoh protagonis bisa menjadi antagonis dibagian akhir
karena keadaan sebelumnya, atau antagonis seakan menjadi 'korban' dan terkesan sebaliknya
dari sifat penokohan.
Bagi mereka, setidaknya, buku tersebut telah selesai dan tamat...
*sekali lagi, kebenaran ternyata relatif, tergantung dari mana kita memahami
cerita buku kehidupan yang kita baca.
Tak lama,
seorang sahabat menyapa saya lewat dunia maya dan mengatakan menyukai kata-kata
ini. Saya hanya tersenyum dan kembali bertanya pada dia apakah kata-kata yang
saya buat salah? Apakah saya hanya terlihat sedang curcol di media jejaring sosial? Dia menjawab bahwa maksud
dari apa yang saya tulis sebenarnya hanyalah saya yang tahu, tetapi secara umum ini adalah sentilan bagi
sifat manusia. Hahaha, saya tertawa naïf, tidak sejauh itu pemikiran saya.
Tak berselang lama juga seseorang yang lain
memberikan komentar bahwa apapun isinya semua buku adalah ilmu. Ini membuat
saya lebih tersenyum lagi karena seseorang yang lain melihat dari sisi yang
berbeda, bahwa buku adalah buku, sebuah tumpukan kertas yang dijilid rapih
berisi tulisan-tulisan tentang apa saja, dan semua itu pasti mengandung ilmu.
Saya setuju dengan komentar ini, karena dengan buku (jika dibaca) maka ilmu
kita akan bertambah, dan tidak ada batas usia untuk selalu menimba ilmu. Tidak
ada orang yang semakin bodoh karena membaca buku, tidak ada orang yang semakin
terpuruk otaknya karena menambah ilmunya.
Tapi
sebenarnya yang ingin saya ungkapkan tak lebih dari sebuah omongan sahabat saya
yang lain tentang buku kehidupan.
Lembaran-lembaran hari yang telah kita lewati dan yang akan kita jalani menjadi
sebuah buku sejarah pribadi kita masing-masing. Sahabat saya mengatakan,
ketika seseorang sudah tutup usia maka bukunya pun telah tamat. Semua lembaran
kehidupannya telah dia tulis dengan caranya sendiri, dengan pilihannya sendiri,
dan dengan resikonya sendiri.
Dengan cara
dan pilihan yang telah dia pilih maka orang tersebut bisa menempatkan diri
sebagai tokoh utama atau sekedar pemeran pengganti saja, sebagai tokoh
protagonis atau antagonis dalam menceritakan buku tentang hidupnya. Bagaimana dia
mengatur segala alur kehidupannya yang bisa dibuat rumit atau sangat sederhana
sekali. Pola pikir dan obsesi menentukan isi buku jalan hidupnya, menentukan bagaimana
dia dan pola pikirnya bisa menyelesaikan masalah-masalah di hadapannya dan
dengan obsesinya dia membuat sebuah keputusan tentang tujuan hidupnya.
Banyak orang
yang masih bingung dengan obsesi hidupnya, apa yang menjadi tujuan hidupnya, mau dibawa
kemana selama ini; termasuk saya. Gambaran-gambaran target terkadang terlalu
tinggi dicapai dan berakhir hanya sebagai harapan-harapan semu saja, sehingga tak jarang
jalan yang ditempuh pun sebenarnya tidak pernah beranjak dari tempat dia
berdiri sejak semula. Saya sendiri terkadang capek memikirkan tujuan hidup
saya sebenarnya apa, akan selalu berbeda ketika melihat dari satu sisi dengan sisi
yang lain, terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak pertanyaan diri yang harus dijawab, sehingga terkadang bagi saya sampai saat ini hanya ingin menjadi orang baik
yang bisa membahagiakan keluarga dan orang sekitar saya saja.
Kembali kepada Sang Buku, milik kita akan selalu dibaca oleh orang
sekitar, baik disadari ataupun tidak bagi mereka. Mereka akan memahami Sang Buku dengan cara mereka sendiri, dan diambil kesimpulannya pun
dengan pemikiran mereka masing-masing. Beberapa diantara mereka tak mau ambil
pusing, sekedar melirik kemudian meletakkan begitu saja tanpa
ada niat sedikitpun untuk melihat isinya. Bagi pemilik Sang Buku yang mempunyai cover menarik, akan ada beberapa diantara mereka yang membaca
sepenuh hati, menjadi paham benar dengan isi sang buku, maksud dan tujuan yang
diceritakan di dalamnya dan mencapai sebuah kesimpulan yang sama persis seperti
yang diceritakan di dalamnya, atau setidaknya mirip.
Tetapi,
banyak juga di antara mereka yang hanya mengintip awal cerita, melompati
beberapa halaman sang buku, kemudian membaca akhir cerita, dan mengambil
kesimpulan sendiri. Mereka tak peduli bagaimana alur cerita tersebut dibuat, bagi
mereka apa yang terjadi diakhir cerita adalah sebuah kesimpulan. Padahal
tahukah mereka bahwa didalamnya ada hal-hal yang akan menentukan akhir cerita?
Mereka pun tetap tidak peduli.
Ada intrik,
konflik, rekayasa, kepentingan, cinta dan benci di dalamnya. Ada bahagia,
sedih, marah, terharu dan geregetan
dalam perasaan yang diciptakan oleh cerita sang buku. Semua membuat alur dalam
cerita berkesinambungan yang naik turun tidak terputuskan, dan terkadang akan
menciptakan suatu akhir yang bertolak belakang dengan awal mula cerita sang
buku. Sang pahlawan bisa menjadi penjahat, atau sang penjahat berubah menjadi
orang yang dikagumi karena kepahlawanannya.
Lalu mengapa
kita harus membuat kesimpulan terhadap sang buku jika kita tidak membaca
lengkap keseluruhannya? Bagaimana kita tahu jiwa-jiwa yang tercipta dalam
karakternya menuju kemana jika kita hanya melompat-lompat halaman? Dan mengapa
vonis salah seenaknya bisa dijatuhkan terhadap isi buku?
Jadi teringat
sebuah page di jejaring social
tentang bagaimana manusia memperlakukan sesama terkadang berlebihan tanpa tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Di situ disebutkan tentang seorang gadis berumur
17 tahun yang dipandang sinis karena telah menggendong anaknya sendiri yang
sudah berumur 3 tahun tanpa mereka tahu bahwa si gadis adalah korban
pemerkosaan di usia 14 tahun. Atau tentang seorang cacat tubuh terbakar yang
dihindari oleh orang-orang tanpa mereka menyadari bahwa orang tersebut adalah
seorang anggota pemadam kebakaran yang menjadi korban lalapan api saat
menyelamatkan seorang bayi. Atau makian terhadap seorang pembantu rumah tangga
yang telah membunuh majikannya tanpa mereka merasakan kehidupan sang pembantu
yang telah diperkosa, diinjak, dihina dan disiksa oleh majikannya sehingga
akhirnya dia tidak tahan lagi. Dan beberapa cerita lainnya yang sejenis.
Dan akhirnya,
mengapa kita harus memvonis seseorang tanpa mengetahui jalan hidupnya secara
keseluruhan? Sebaik-baiknya adalah kita tidak pernah lagi membuat kesimpulan
buruk terhadap orang lain, selalu berprasangka baik membuka lembaran hidup kita
sendiri, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna dan membuat sebuah cerita
kehidupan yang baik tentang kita sendiri dan orang-orang tercinta di sekitar
kita. Nantinya jilidan buku kita akan ditumpuk dengan buku-buku kehidupan orang
lain yang beragam dan terseleksi secara alam atas kualitasnya. Tak perlu kita
membuat kesimpulan dan vonis atas buku orang lain tanpa kita mengetahui isinya,
karena kebenaran itu relative tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Semoga kita
bisa selalu bisa memperbaiki jalan hidup kita lebih baik dari sebelumnya. Amin.