Jumat, 02 Desember 2011

The Roses (Chapter 1)

The Red Rose is ...


Panggil saja namanya Nona, tidak begitu tinggi, chubby, berkulit putih halus dengan sedikit rambut-rambut halus diantara hidung dan mulutnya serta di belakang pipinya. Cantik.

Sikapnya yang anggun, sopan, dan bisa menghargai orang lain, apalagi bila berbicara dengan orang tua atau orang yang lebih tua darinya, sangat menyenangkan. Itu karena didikan orang tuanya yang begitu keras, tidak mau berkompromi, dan sangat mematuhi adat-adat asalnya. Karena dia adalah keturunan ningrat, darah biru salah satu daerah yang kental dengan adatnya di Jawa Timur.

Sampai saat ini aku mengenalnya melebihi dari separuh umurku. Begitu mencintainya sampai dengan apapun aku rela untuk dia. Perjalananku dengan dia sangatlah panjang, sampai terkadang aku dan dia lelah dengan semua ini.

“Kita bagaikan cermin satu sama lain,” ujar dia suatu ketika. “Kita akan sama-sama sakit jika salah satu dari kita merasa sakit. Maka begitupun perasaan cinta kita, kamu tidak akan bisa membohongiku dengan mengatakan sudah tidak mencintaiku lagi ketika aku masih mencintaimu, begitupun sebaliknya. ”

Aku hanya memeluknya dari belakang saat itu, mencium tengkuknya sambil menikmati malam yang indah di pinggir pantai Parangtritis, menikmati debur indah ombak lautan yang berkejaran memantulkan bulan purnama kala itu. Tak ada komentar yang keluar dari mulut ini karena apa yang dia katakan adalah benar.

Aku dan dia begitu sama. Aku dan dia sama-sama bisa menikmati indahnya malam, mencintai laut tapi juga takut untuk mendekatinya, menatap keindahan bulan merah jambu di semburat tenggelamnya matahari, meresapi puisi-puisi romantis Khalil Gibran yang indah sepanjang masa, merenungi hidup kami yang tak pernah bisa lepas.

Bagaimana para roman menyebutnya ya, soulmate?



Aku ingat obsesinya untuk berciuman di bawah derai hujan, yang akhirnya terkabul saat aku dan dia kehujanan di Surabaya mengejar bis antar kota yang menuju kota kelahiranku dan dia. Waktu itu aku menariknya untuk berteduh dipinggiran pertokoan ketika dia justru menarikku ke tengah hujan yang deras, berlari menuju jembatan penyebrangan di seberang stasiun Wonokromo. Aku tak mengerti maksudnya berlari dibawah hujan, menaiki tangga penyebrangan, sampai di atas dia berbalik memelukku dan menciumku, tak peduli pada orang-orang yang mendengus heran di bawah payung mereka. Aku tertegun lalu mengacak-acak rambut basahnya saat dia tersenyum nakal. Menggemaskan.

Mengacak-acak rambutnya adalah hal yang paling dia suka bila aku melakukannya. Wajahnya bisa berubah manja dan menikmati acakan tanganku, walaupun kadang cubitan panasnya mendarat di lenganku karena kesebalannya harus merapikan rambut lagi. Aku senang melihat rambutnya, tebal dan ikal sebahu, sehingga sering membuatku gemas untuk memainkannya di antara jari-jariku.

Persamaanku dan dia yang paling cocok adalah sama-sama ‘gila’. Gila pada hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan orang lain atau gila pada menciptakan momentum-momentum yang akan selalu aku ingat. Seperti kegilaanku dan dia saat suatu sore berangkat ke Malioboro dari tempat tinggalnya, mengelilingi kaki lima dan semua mall yang ada disana, kemudian sepakat untuk menginap di Stasiun Tugu. Padahal aku tahu dia sudah capek sekali. Lalu sekitar jam 10 malam aku ajak dia untuk pulang walapun dia masih sok kuat, padahal posisinya sudah tiduran di bangku ruang tunggu dengan kepalanya di atas pangkuanku, dengan mata yang sudah merah. Walaupun akhirnya dia menyerah saat tengah malam kami kedinginan di tengah deru kereta api yang tak pernah berhenti lewat di relnya, kami pun pulang memakai taxi setelah aku berhasil mendebatnya untuk jalan kaki sejauh 10 km.

Jalan kaki? Banyak waktu-waktu ku bersamanya berjalan kaki mencari momentum. Mengelilingi Jl. Gejayan melewati kampus IKIP sampai UGM setelah kami makan sate kambing, atau berjalan-jalan lapangan timur UGM sambil mengendap-endap menghitung mahasiswa dan mahasiswi yang berpacaran di tempat-tempat gelap tanpa bersuara.

Momentum-momentum romantis yang tak pernah kualami sebelumnya tercipta bersamanya. Seperti ketika dia mendefinisikan lagu Bed Of Roses-nya Bon Jovi saat aku mendatanginya di Yogyakarta. Saat itu aku di ajak ke dalam kamarnya yang hanya di terangi puluhan cahaya lilin berwarna ungu dengan harum semerbak bunga mawar yang tercium dari taburan bunga mawar di seluruh penjuru kamarnya, terutama di atas tempat tidurnya yang penuh dengan bunga mawar. Padahal aku datang hanya untuk mengajaknya makan, tapi dia telah menyiapkan makan malam kami di disitu, di tengah-tengah cahaya lilin dengan makanan kesukaanku yang dimasaknya sendiri dengan susah payah karena dia belum pernah memasaknya.

Atau ketika disaat aku dan dia bertengkar hebat sampai dia memutuskan hubungan dan aku kembali ke kotaku dengan keadaan marah. Beberapa hari setelah itu kembali aku tertegun saat bangun pagi aku lihat dia di depan pintu kamar kosku, berlutut sambil membawa setangkai mawar merah hati memohon untuk kembali. Bagaimana aku bisa menolaknya setelah dia menempuh perjalanan bus antar kota selama 12 jam hanya untuk kembali padaku di sela kesibukan kuliahnya? Aku pun hanya mengangkat tubuhnya dan merengkuhnya dengan haru, memapahnya ke dalam kamar kosku karena kram kakinya setelah berlutut 2 jam menungguku bangun. Segera kuambilkan dia minum dan menyuruhnya istirahat dulu, terlelap di bawah belaian tanganku di atas rambutnya.

Piuhhh, kenangan seperti itu bagaimana bisa aku lupakan?

Kini aku hanya bisa memendamnya dalam hati, jauh di lubuk hati mencoba melupakannya, melupakan mawar merahku yang tak lagi ada disampingku, yang tak lagi mencerminkan diriku, yang tak lagi ada untuk kucium harumnya…


-----

Aku mengenalnya ketika pertama kali aku menginjak salah satu kota di kabupaten yang terpencil di Jawa Timur untuk melanjutkan sekolah di lanjutan pertama, saat orang tuaku memutuskan pindah dari pedesaan demi pendidikan anak-anaknya agar lebih terjamin. Pertama aku melihatnya menjadi teman sekelasku dengan balutan baju seragam putih biru di tubuh mungilnya, tetapi tidak ada yang spesial.

Walaupun aku dan Nona satu kelas, tidak banyak percakapan diantara kami sampai beberapa minggu sesudahnya. Aku duduk sebangku dengan anak baru dari Padang, Wawan. Badannya cukup besar untuk ukuran anak SMP, tapi kulitnya yg putih membedakan dia dengan penduduk asli sini yang rata-rata sawo matang. Wawan ternyata tertarik pada Nona. Aku tertawa geli mendengarnya, bayangkan saja umur baru 12 tahun, masih bercelana pendek, bahkan kakinya saja belum berbulu sempurna sudah berani menyatakan cinta. Aku ikuti aja maunya untuk jadi mak comblangnya dengan Nona, demi teman. Itulah saat-saat pertama aku dekat dengan nona, tapi tetap saja tidak ada yang special.

Ternyata Nona juga tertarik pada Wawan. Bagus deh, aku jadi tidak perlu bersusah payah mendekatkan mereka. Tapi dasar cinta monyet, untuk jalan bareng saja masih malu, apalagi untuk hang out. Yang mereka lakukan hanya sebatas obrolan di kelas. Situasi cinta monyet inilah yang membuatku semakin dekat dengan Nona, menjadi penghubungnya dengan Wawan.

Sampai suatu ketika Nona mengatakan padaku agar aku tak lagi berbicara dengannya karena Wawan cemburu, aku hanya menjawab terserah dan mengikuti maunya. Kemudian aku pun pindah tempat duduk tak lagi sebangku dengan Wawan agar aku tak merusak hubungan persahabatan kami, persahabatanku dengan Wawan dan juga dengan Nona. Tapi ternyata beberapa bulan kemudian ku dengar mereka putus. Walaupun aku lihat mereka tersakiti dengan putusnya cinta monyet mereka yang mereka sebut First Love, dengan waktu tak lama juga aku mendengar masing-masing telah jadian dengan cinta monyet yang lain.

Namun aku tetap tidak perduli dengan urusan mereka, juga dengan Nona yang masih saja tak mau bicara denganku. Sampai kenaikan kelas, di awal pelajaran baru wali kelasku ingin membuat suasana kelas lebih segar dengan memposisikan muridnya duduk sebangku berpasang-pasangan. Entah di sengaja atau tidak, aku dipilih untuk duduk sebangku bersama Nona. Walaupun merasa canggung pada awalnya karena sampai satu hari sebelum itu dia belum bicara denganku, akhirnya hari itu bisa aku lewatkan dengan baik bersamanya. Kami kembali bersenda gurau, menemukan kecocokan kembali seperti jauh sebelumnya.

Dia sering meledekku dengan kelakuanku yang selalu kabur kalau melihat cinta monyetku, maksudku pacar monyetku, eh pacarku waktu itu. Ternyata akupun tak jauh berbeda dengan mereka, entah kenapa walaupun aku mengikuti trend cinta monyet aku tak pernah berani bertemu langsung dengan pacar-pacarku di sekolah. Tapi tak jarang sebaliknya aku berhasil meledeknya tantang pacar-pacar barunya yang selalu berganti, sampai mukanya bersemu merah. Menggodanya sampai dia membelalakkan matanya yang bulat indah.

Herannya pacar-pacarnya dia tak pernah cocok denganku, juga sebaliknya pacar-pacarku tak pernah bisa berkompromi dengannya. Beberapa pacarnya lagi-lagi cemburu padaku, tapi kali ini Nona tak mau lagi untuk menjauhiku seperti keetika dia menuruti permintaan Wawan. Sedangkan pacar-pacarku malah ada yang sampai benci banget sama dia dan akhirnya memutuskanku hanya karena kedekatanku dengan Nona.

Banyak yang mempertanyakan hubungan kami sebenarnya, tapi bagiku Nona hanya adik kecilku, adik terbungsu yang harus aku lindungi, yang selalu bisa bermanja padaku. Sedangkan bagi Nona aku pun tak jauh beda, hanya kakak baginya. Persahabatanku dan dia sudah menjadi persaudaraan, tak ada yang kami sembunyikan satu sama lain Kami pun sepakat untuk berkomitmen: No Love, No Lover, and Never Be a Lover antara kami.

Persahabatan ini di tambah dengan 2 orang lainnya yaitu Yosh dan Dina. Yosh adalah sahabatku setelah aku jauh dari Wawan, padahal dia adalah orang yang kukenal pertama kali saat aku menginjak sekolah ini, sedangkan Dina adalah sahabatnya Nona yang baik banget, pendiam, pengertian, dan selalu siap untuk kami bertiga. Berempat kami menyebut diri kami DYAN, menggelikan sekali.

Di luar sekolah terkadang kami jalan-jalan bersepeda berempat memutari kota, merampok rumah teman-teman kelas dan menyantroni teman-teman lainnya. Walaupun kemana-mana selalu berempat, tanpa disadari yang menjadi leader adalah aku dan Nona. Sebagian besar inisiatif dan ide adalah dari aku dan dia. Tanpa disadari justru aku dan Nona terlihat seperti pasangan sedangkan Yosh dan Dina pendamping, padahal tidak ada sedikitpun maksud untuk itu. Sempat aku mengajukan keberatan pada Nona untuk bertukar pasangan jika sedang berjalan berempat, tapi ujung-ujungnya tetap saja selalu begitu, sehingga akhirnya aku selalu berusaha menjadi netral.

Menjelang kelulusan SMP aku sempat berpamitan pada mereka untuk mencoba salah satu sekolah lanjutan atas khusus untuk pemerintahan. Tapi karena gagal untuk kualifikasinya aku kembali sekolah di salah satu sekolah favorit di kota kabupaten tempat kelahiranku. Sayangnya di antara kami berempat Yosh gagal memenuhi syarat masuk sekolah yang sama sehingga dia berbeda sekolah. Sedangkan aku, Nona, dan Dina memang satu sekolah tapi kami tak lagi satu kelas.

Perlahan, walaupun persahabatan kami masih ada, kami menemukan sahabat-sahabat yang lain, jarak pun mulai tercipta. Aku terlena dengan teman-temanku yang baru, Dina juga dengan sahabat-sahabatnya yang sama sekali tidak bisa aku masuki, dan Nona dengan teman-temannya yang... ah, inilah yang nantinya akan menyebabkan hubunganku dengan Nona menjadi renggang.

Waktu itu aku adalah orang yang idealis, yang semuanya harus sesuai dengan peraturan. Di kota kecil ini segala tingkah laku mendapat cap sesuai dengan yang di perbuatnya. Entah memang lingkungan disini yang masih kampungan atau aku yang masih hijau terlalu mempedulikan pendapat orang lain yang hanya melihat kuarnya saja. Demikian juga dengan teman-teman kelas Nona yang waktu itu pergaulannya tidak cocok bagiku. Padahal sebenarnya mereka baik-baik kok, bahkan kompak banget sehingga kadang bercandanya keterlaluan untuk ukuran anak SMA. Bercanda yang kadang kelewatan ini yang membuatku mengingatkan Nona untuk jaga diri, tapi dia salah tanggap dengan mengganggap aku iri pada teman-temannya. Untuk ke dua kalinya hubunganku dengan Nona menjauh.

Setelah kenaikan kelas aku sedih melihat dia semakin jauh. Tapi aku tak dapat berbuat banyak. Aku pun tenggelam pada beberapa ekstra kurikuler yang aku ikuti di sekolah. Dua diantaranya aku ikut hanya agar bisa dekat dengan Nona. Saat-saat ini aku mulai bertanya dalam hati apakah aku mempunya perasaan yang berlebihan pada dia. Tapi aku bersikukuh mengingatnya sebagai adik kecilku dan komitmen kami.

Tak disangka saat kelas akhir aku sekelas dengan Nona!

Antara senang dan tidak aku kembali sekelas dengan dia, apalagi sebagian dari teman-teman kelasku berasal dari kelasnya. Entah apa yang ada di otakku waktu itu aku iseng mengirim ke majalah sekolahku sebuah cerpen yang sebenarnya bukan tentang Nona tapi ada kata-kata yang aku buat untuk menyindirnya, yang aku buat satu tahun sebelumnya.

Aku ingat waktu itu dia dengan muka merah dan mata berkaca-kaca memasuki kelas dan membanting sebuah majalah ke atas mejaku. Aku yang sedang bercanda dengan temanku terkejut dengan sikapnya dan terdiam sampai dia meninggalkan kelasku. Majalah yang dia lempar masih diatas mejaku. Aku membuka bagian yang dia kasi tanda, cerpenku. Sederet tulisan menggunakan tinta merah tertulis disitu.
 


“I know its me!!
You are talking about me with your wrong perseption!
Why you never ask me before?
Why you never try to talk with me about all of this?
I’m veri dissappointed of you.
I thought you know me, I thought you really understand me, but I’m wrong.
I hate you…”

Wew, aku terdiam membacanya. Apalagi tak lama kemudian beberapa teman lelaki yang berasal dari kelasnya dulu mendatangiku dengan muka masam dan merengkuh leher bajuku, mengecamku dan menanyaiku apa yang telah aku lakukan. Mungkin karena darah muda saja waktu itu aku melawan dengan emosi dengan menjawab bahwa itu bukan urusan temannya. Teman lelaki Nona menantangku sepulang sekolah, tapi hal ini terdengar teman-temanku dan saat pulang sekolah hampir saja terjadi tawuran antar kelas.


Tawuran ini kugagalkan dengan menantang teman lelaki Nona 1 lawan 1, dan tantanganku di terima. Waktu itu aku tidak mau berkelahi di seputar sekolah sehingga aku meminta tempat lain yang disepakati teman-teman. Langsung kupacu motorku menuju tempat yang telah disepakati, sebuah lapangan terbang yang terbengkalai. Namun di tengah perjalanan sesosok wanita dengan motor bebek mengejarku dan memaksaku untuk minggir. Dia Nona.

 
Sambil menangis menghampiriku yang berhenti tak jauh dari motornya, Nona meminta aku untuk tidak melanjutkan pertengkaran bersama temannya. Teman lelakinya yang baru menyusul terkejut ketika ada Nona dan dia terdiam saat Nona memintanya untuk menghentikan sikapnya yang membela Nona. Ketika aku dan teman lelakinya Nona mengiyakan permintaannya, tiba-tiba Nona melihatku dengan tatapan kecewa dan kembali menangis kemudian kembali memacu motornya.

 
“Kamu musti tanggung jawab telah membuatnya menangis!” ujar temen lelakinya tiba-tiba mengagetkan diamku.

 
Aku langsung loncat ke atas motorku dan mengejar Nona. Ternyata dia menuju rumah salah satu sahabatnya yang tak jauh dari tempat tadi kami berhenti. Dia langsung masuk menemui sahabatnya dan memeluknya sambil menangis. Aku yang sampai tak lama kemudian menyusulnya ke dalam rumah. Hal itu rupanya mengagetkan Nona, dia tak menyangka aku akan mengejarnya. Nona melepas pelukannya pada sahabatnya dan memandangku kemudian berlari memelukku.

 
“I miss my big Brother…”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

To Be Continued

1 komentar: